METODOLOGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA I
“SPIRITUAL
TEACHING”
BAB I
Kata Pengantar
Segala Puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT karena limpahan rohmat
serta anugerah darinya sehingga kami mampu untuk merampungkan makalah dengan
judul “Adab Kepada Guru dan Ustads” ini. Sholawat dan salam selalu kita ucapkan
dan curahkan untuk junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW yang sudah
menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, sebuah petunjuk paling benar
yakni syariah agama islam yang sempurna dan satu satunya karunia paling besar
kepada seluruh alam semesta.
Penulis benar benar berterima kasih sebab mampu menyelesaikan makalah yang
termasuk dari tugas pendidikan agama tentang “Adab-adab Kepada Guru dan
Ustadz”. Selain itu, kami menyampaikan terima kasih yang banyak terhadap
seluruh pihak yang sudah membantu kami selama berlangsungnya penyelesaian
makalah ini sampai bisa terselesaikan makalah ini.
Begitulah yang bisa kami haturkan, kami berharap supaya makalah ini bisa
berguna kepada setiap pembaca. Kami memohon kritik dan saran untuk makalah ini
supaya selanjutnya bisa kami revisi kembali. Karena kami menyadari dengan
sangat, bahwa makalah yang kami tulis ini masih banyak kekurangannya.
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang paling tinggi
derajatnya dibandingkan makhluk tuhan yang lainnya. Mengapa demikian?,tentu
jawabannya karena manusia telah diberkahi dengan akal dan fikiran yang bisa
membuat manusia tampil sebagai khalifah dimuka bumi ini. Akal dan fikiran ini
lah yang membuat manusia bisa berubah dari waktu ke waktu.Dalam kehidupan
manusia sulit sekali dipredeksi sifat dan kelakuannya bisa berubah
sewaktu-waktu. Kadang dia baik,dan tidak bisa bisa dipungkiri juga banyak
manusia yang jahat dan dengki pada sesame manusia dan makhluk tuhan lainnya.
Setiap manusia kepercayaan akan sesuatu yang
dia anggap angung atau maha.kepercyaan inilah yang disebut sebagai spriritual.
Spiritual ini sebagai kontrol manusia dalam bertindak, jadi spiritual juga bisa
disebut sebagai norma yang mengatur manusia dalam berperilaku dan bertindak.
Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi
antara pendidik dan peserta didik dalam rangka membantu terwujudnya suatu
tujuan pendidikan dengan baik. Setiap pendidik tentu mempunyai metode atau cara
yang digunakan untuk membentuk karakter peserta didik sesuai dengan harapan.
Dalam metode mendidik anak, sangat bervariasi cara yang bisa kita gunakan salah
satunya yakni spritual teaching. Spiritual teaching sangat
ampuh untuk membakar semangat peserta didik dalam menuntut ilmu, oleh karena
itu makalah ini kami susun untuk mengetahui bagaimana cara mendidik anak dalam
metode spiritual teaching
B. Rumusan
Masalah
a. Pengertian spiritual teaching
b. Strategi spiritual teaching
dalam pembelajaran PAI
c. Spiritual teaching sebagai
konsep yang melibatkan IQ, EQ, SQ
d. Penerapan spiritual teaching
dalam pembelajaran PAI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Spiritual
Teaching
spiritual
adalah dapat dimaknai sebagai batin, kejiwaan, rohani. Spiritual berasal dari
kata spirit yang berkenaan dengan semangat, dari sini kita dapat mengartikan
“spiritual” sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan kita dalam
membangkitkan “semangat”, bagaimana kita benar-benar memperhatikan “jiwa” atau
“sukma” kita dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi.
Al-Ghazali
mengartikan kata spiritual dengan menggunakan empat istilah, yakni al-qalb, al-ruh,
al-nafs, al-aql. Keempat istilah tersebut ditinjau dari segi fisik memiliki
perbedaan arti, dalam pengertian pertama al-qalb berarti qalb al-jasmani (kalbu
jasmani), al-ruh berarti
ruh jasmani dan lathif, al-nafs berarti
hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-aql berarti
ilmu. Sedangkan dalam pengertian kedua, keempat istilah itu mengandung arti
yang sama, yakni jiwa atau spiritualitas manusia yang mempunyai hakikat, diri,
dan zat manusia.
Al-Ghazali
mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan rajanya adalah
jiwa, wilayahnya adalah tubuh, alat indera dan fakultas badan lainnya sebagai
tentaranya. Akal sebagai wazir (perdana mentri), serta hawa nafsu dan sifat
marah sebagai polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia ke
jalan yang baik dan diridhai Allah. Sebaliknya hawa nafsu dan sifat marah
selalu pula mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Demi
terciptanya ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia) maka,
kekuasaan raja dan wazir harus berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat
marah. Kalau sebaliknya yang terjadi pertanda kerajaan itu akan runtuh dan
binasa. Dari ibarat di atas semakin jelaslah bahwa jiwa merupakan hakikat,
diri dan zat manusia karena fungsinya besar dalam kehidupan dan di
atas-Nya lah tergantung baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat.
Adapun
“Teaching”
disini berarti mengajar. Mengajar diartikan sebagai proses penyampaian
informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Untuk proses mengajar
sebagai proses menyampaikan pengetahuan akan lebih tepat diartikan dengan
menanamkan ilmu pengetahuan atau keterampilan seperti yang dikemukakan oleh
Smith bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching
is imparting knowledge)
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan spiritual teaching adalah
rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman ilmu pengetahuan
atau keterampilan yang berkaitan dengan sesuatu mata pelajaran
tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam rangka pengabdian kepada
Allah SWT sebagai pemilik ilmu.
Cinta
guru terhadap profesinya bisa berwujud profesionalisme, totalitas, ketulusan,
kesabaran, dan kerelaan dalam menghadapi resiko-resiko yang harus
ditanggung.Adapun cinta guru terhadap siswa diberikan melalui kedekatan,
keakraban, penerimaan yang tulus, atau cairnya hubungan yang terbangun bersama
mereka. Curahan cinta, kasih dan sayang guru kepada siswa akan menghasilkan
sesuatu yang spektakuler, yaitu respons balik dari siswa berupa cinta,
kepatuhan dan prestasi.
B. Strategi Spiritual
Teaching Dalam Pembelajaran PAI
Guru
mempunyai peran penting dalam strategi untuk memastikan proses pembelajaran
siswa sesuai dengan pola pikirnya sering gagal, karena penyajian materi pada
umumnya berbentuk klasik, sehingga sulit menerapkan strategi yang beragam
dikelas. Sementara kemampuan siswa satu dengan lainnya itu berbeda. Ada salah
satu strategi yang sederhana sehingga guru dapat menciptakan suasana yang
menyenangkan, asyik, dan beragam, sehingga dapat membangkitkan motivasi bagi
siswa dalam pembelajaran dan mampu meningkatkan kemampuan berfikir mereka.
Untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan Abdullah Munir, ada beberapa langkah yang
harus diterapkan dalam strategi ini, yaitu
1. Teladan baik atau mulia.
Keteladan dalam proses pembelajaran
merupakan hal yang sangat penting dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak.
Diantara keteladan yang baik dalam proses pembelajaran dilakukan sebelum
memulai pelajaran belangsung, siswa wajib membaca do’a dengan khidmad yang
dipandu oleh guru.
Pendidikan dengan memberikan
keteladan secara baik dari pengajar sangat membekas dan dapat dirasakan oleh
siswa, memberi petunjuk dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang baik.
2. Murid adalah obyek dan
sasaran utama dari proses aktivitas kegiatan belajar mengajar dan pendidikan.
Oleh karena itu, murid unsur
utama yang dengannya itu guru berinteraksi, Kurikulum, sistem pengjaran dan
lain-lainnya pada dasarnya dibuat untuk merealisasikan tujuan pengajaran dan
pendidikan bagi murid. Berpijak pada posisi murid dalam proses belajar
mengajar, maka perlu diletakan garis-garis besar, kaedah-kaedah interaksi
dengan murid agar tujuan pengajaran dan pendidikan bisa terwujud. Semua tumpuan
itu adalah akhlak yang mulia.
3. Melembutkan hati
Hati mempunyai peran sangat
penting dalam mewarnai aktivitas hidup. Suasana hati yang sedih seringkali
menghalangi terjadinya bentuk kreativitas, menyedot banyak energi dan antusias
orang.
Apabila guru dapat
mengeksplorasi diri sehingga daya tangkap pancaindera siswa meliputi
penglihatan, pendengaran, dan rasa dapat dikoordinasikan dengan baik, akan
mnyelaraskan suasana belajar dengan suasana hati. Dengan suasana hati yang
penuh sukacita mampu menjadikan pikiran dan kreativitas mengalir deras,
merangsang kuat pada perasaaan ide serta wawasan.
4. Menyemaikan benih kasih sayang
Mendidik dengan hati, cinta
dan kasih sayang merupakan hal yang diperintah Nabi Muhammad SAW. Beliau
bersabda :
“Sayangilah anak-anak kalian
dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang mulia”
(H.R Ibnu Majah)
Bila anak didik dengan penuh
kasih sayang dan budi pekerti yang mulia pasti anak tersebut akan tumbuh
nilai-nilai positif dalam diri dan jiwanya, seperti menghormati orang lain,
rasa percaya diri, toleransi, jujur, dan lainnya.
5. Beristiqamah diri
Ada beberapa hal bahan
motivasi agar guru dapat senantiasa menikmati pekerjaan sehingga dapat
beristiqamah dalam menjalankan tugas dengan baik diantaranya adalah a) Ingat
janji Allah SWT, b) Mengelola resiko, c) Milikilah sikap totalitas, d)
Membandingkan diri dengan orang lain, e) Figur nyata untuk cerminan, f)
Membekali diri dengan keterampilan, g) Luruskan niat, antisipasi masalah.
6. Indikator cinta
Ada tiga hal yang menjadi
indikator cinta seorang guru terhadap profesi dan anak didiknya. Pertama, pasokan
energi yang melimpah. Dalam indikator ini seorang guru harus bersemangat dalam
mengajar, dapat mengelola waktu dengan baik dan diusahakan selalu hadir. Kedua,
kesediaan untuk berkorban. Indikator ini meliputi menciptakan pembelajaran
efektif, menguasai materi dan menerangkan meteri dengan jelas sehingga dapat
dipahami oleh murid, menggunakan sumber belajar yang tepat, mengadakan
evaluasi. Ketiga, kesiapan untuk selalu memberi yang terbaik. Indikator ini
meliputi memberi tauladan kepada siswa dan dapat mengarahkannya serta memberi
penguatan didalamnya.
C. Spiritual Teaching Sebagai Konsep Yang
Melibatkan IQ, EQ, SQ
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Akal merupakan
kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan akal manusia mampu
belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang dimiliki, seorang manusia
mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yaitu memaksimalkan
proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia dibekali kecerdasan yang luar
biasa dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain.
Sering
kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata – mata untuk mencari
nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk
mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri
dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu
harus didasari niat beribadah kepada Tuhan. Namun, banyak yang lupa akan hal
itu sehingga menganggap ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang
suatu pengetahuan, hanya sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi
pekerti atau sikap perilaku anak didiknya.
Hanya
sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu
pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang
berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami
apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik,
panutan bagi orang – orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.
Guru
juga seorang manusia di mana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah
satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita
mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan
teladan yang baik bagi murid-muridnya karena setiap sikap dan tingkah lakunya
selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik
(guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya
mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.
Guru
merupakan orang yang sangat penting dalam proses belajar mengajar tertentunya
mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan tugasnya.
Strategi spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses
penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan
suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam
kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek
model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi
dan anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta
menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa
semangat dan senang dalam belajar. Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa
tolak ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing
belajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar.
Seorang
guru yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan
atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mampu
menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku
peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang
pendidik hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan
materi pelajaran, sehingga tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak
bertindak tidak patut dan semestinya. Maka dari itu sangat penting bagi para
guru untuk mulai menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu
pengetahuan, tetapi lebih dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan
nilai – nilai kebaikan, nilai – nilai religius.
Sebagai
pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan
segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar/
learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan
learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi
secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan
prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai
pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang
profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan
peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan
yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang menantang
atau problematis (Problematical Learning/IQ), menyenangkan (Joyful Learning/
EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/ SQ).
Seorang
pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak
didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah
bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku
peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan
hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan
secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Dalam
dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) perlu mendapat
perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan menghasilkan
kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan.
Daniel
Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, dijelaskan bahwa
kunci sukses seseorang ternyata tidak hanya disebabkan tingginya IQ
(Intelligence Quotient) saja, ada faktor lain yang dapat membawa seseorang
menuju jalan kesuksesan, yaitu EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan
emosional. Tetapi IQ dan EQ yang tinggi ternyata belum cukup, dibutuhkan lagi
apa yang dinamakan SQ (Spiritual Quotient). Penggabungan antara kerelegiusan
dan psikologi yang sudah mendekati kesempurnaan,bahwa manusia tidak mungkin
bisa terlepas dari yang namanya takdir dan ikhtiar untuk keberlangsungan
hidupnya. Dan berikut akan disebutkan beberapa jenis manusia berdasarkan
tingkat IQ, EQ dan SQ yang dimilikinya.
1. Jenis manusia yang
mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang yang
rasionalis, artinya mengedapankan akal dan pikiran dalam menentukan sesuatu
(padahal akal manusia sangat terbatas jangkauannya).
2. Jenis manusia yang
mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang materialis,
artinya memandang sesuatu mengharapkan material.
3. Jenis manusia yang
mempunyai IQ tidak bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang
moralis, artinya terus sendiri dalam beribadah, tanpa memikirkan bagaimana
orang lain di sekelilingnya.
4. Jenis manusia yang
mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang egois,
artinya orang yang mementingkan diri sendiri.
5. Jenis manusia yang
mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ bagus, inilah manusia yang ulul albab dan
seorang yang fitrah.
Maka Seorang pendidik harus
mampu menjadi manusia yang kelima, yaitu memiliki IQ, EQ dan SQ yang bagus.
Sebagai konsep siritual teaching.
a. Intelligence Quotient (IQ)
IQ
(Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari
hasil pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan
dan selalu dikaitkan dengan hal akademik seseorang. Banyak orang berpandangan
bahwa IQ merupakan pokok dari sebuah kecerdasan seseorang sehingga IQ dianggap
menjadi tolak ukur keberhasilan dan prestasi hidup seseorang. Padahal IQ
hanyalah satu “kemampuan dasar”. Kemampuan ini umumnya terbatas pada
keterampilan standar dalam melakukan suatu kegiatan dan tingkatnya relatif
tetap. IQ (Intellegence Quotient) / kecerdasan otak masih berorientasi pada
kebendaan.
Intelligence
Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet
dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut
dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ)
merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya
bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes
Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai
usia 13 tahun.
Inti
kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam
diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat
badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen
seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai
15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan.
Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan.
Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk
orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami
penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat
kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia
Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar
umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic)
yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang
cukup.
b. Emotional Quotient (EQ)
EQ
(Emotional Quotient) / kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola
emosi atau perasaan. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ masih berorientasi pada
kebendaan. Tingkat EQ dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Kecerdasan
Emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan
saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi
hidup.
Daniel
Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa
“kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang
80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional.
Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi
pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya
menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam
dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang
positif dan bermanfaat.
Kecerdasan
emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan
mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu
mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi
manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi
mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya
saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa
aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
c. Spiritual Quotient (SQ)
Jauh
sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938
Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup.
Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di
dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan
(3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya
menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia
dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan
konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap
Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung
jawab.
SQ
(Spiritual Qoutient) / kecerdasan spiritual dapat dikatakan sebagai
penggabungan antara IQ dan EQ. SQ merupakan kemampuan untuk mengenal siapa
dirinya secara lahir dan bathin dan mengenal bahwa ada kekuasaan yang melebihi
dari apa pun di dunia ini yaitu Sang Pencipta. Manusia secara fitrah memang
memiliki potensi untuk menghambakan Dzat di mana dalam hubungan vertikal yaitu
hubungan manusia dengan Tuhannya. Manusia yang memiliki sifat yang lemah,
terbatas dan tergantung memiliki kecenderungan untuk meminta perlindungan dan
pertolongan kepada yang lebih darinya. Manusia yang mampu mengelola kecerdasan
ini dengan baik, maka hidupnya akan merasakan ketenangan yang luar biasa
nikmatnya. Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang
kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam
bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah
Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia.
Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai
spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai
kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga
bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai
kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal
itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan
pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.
Denah
Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual
Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan
tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat
menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan
emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang
mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang
penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ
yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul
(Spiritual).
Selain
itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001,
IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang
di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi
‘pusat-diri’
Kecerdasan spiritual ini
adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri
yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan
apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi
oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling
sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa.
Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna
positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya.
Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan
melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan
SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan
dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat
membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada
budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan
kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
Dalam
Islam, orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan pandangan hawa
nafsunya. Hal ini merupakan Sabda Rasulullah saw, seorang pendidik yang luar
biasa cerdasnya yang diriwayatkan oleh Tarmidzi.
IQ, EQ dan SQ masing-masing
memiliki peran yang penting dalam setiap kehidupan manusia. Ketiganya harus
berjalan secara seimbang agar didapatkan keberhasilan yang sesungguhnya. Begitu
pula bagi seorang pendidik (guru). Dia harus mampu menguasai ketiga kecerdasan
ini.
Tugas dan peranan guru sebagai
pengajar yang professional , berorientasi pada kegiatan layanan pengajaran
kepada masyarakat dan upaya konsisten dalam sistem pendidikan nasional. Seorang
pendidik (calon pendidik) diharapkan memiliki tiga kecerdasan ini (IQ, EQ dan
SQ) yang baik sehingga mampu melahirkan generasi-generasi yang juga memiliki
IQ,EQ serta SQ yang luar biasa. Tidak hanya memiliki kecerdasan otak yang
tinggi tetapi juga memiliki sikap, moral dan tingkah laku yang luhur serta
beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (menguasai iptek dan imtak).
d. Penerapan spiritual
teaching dalam pembelajaran PAI
Sikap
religius menjadi komponen penting dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Di
mana agama akan membawa arah hidup menjadi lebih baik. Agama akan mewarnai
karakter shalih seseorang. Agama akan menuntun hati menjadi ikhlas berbuat baik
(kasmadi, 2013: 109). Spiritual teaching dapat diterapkan dalam pembelajaran
PAI di madrasah diantaranya melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Pembelajaran Reflektif
Spiritual teaching berkaitan erat dengan pendidikan karakter.
Salah
satu cara menerapkan spiritual teaching dapat melalui pembelajaran reflektif.
Pembelajaran reflektif adalah pendidikan karakter yang terintegrasi/melekat
pada semua mata pelajaran/bidang studi di semua jenjang dan jenis pendidikan.
Proses pembelajaran dilakukan oleh semua guru mata pelajaran seperti guru PAI,
Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan mata pelajaran lainnya. Proses
pembelajaran reflektif dilakukan melalui pengaitan materi-materi yang dibahas
dalam pembelajaran dengan makna di belakang materi tersebut. Dengan kata lain,
dalam proses pembelajaran guru menjawab pertanyaan mengapa suatu materi itu ada
dan dibutuhkan dalam kehidupan (Kesuma, et al., 2012: 115).
Contoh
pembelajaran refleksi spiritual yang dapat dilakukan oleh guru PAI pada materi
tentang darah sebagai berikut:
Setelah
peserta didik mengelaborasi materi tentang darah (komponen, fungsi, dan
karakteristik lainnya) kemudian diakhir sesi pembelajaran guru bertanya kepada
anak, ”Anak anak menurut kamu siapakah sebenarnya yang mengatur darah di dalam
diri manusia dan makhluk hidup lainnya yang memiliki darah? Kebanyakan anak
dengan spontan menjawab “Allah…” Namun demikian beberapa anak lain tidak
menjawab. Kondisi ini dipahami oleh guru sebagai suatu kondisi yang memerlukan
penguatan karakter anak, yaitu karakter tentang berserah diri Laely Mahmudah
454 Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam terhadap Allah SWT. Kemudian
guru meminta pada anak-anak untuk menjelaskan lebih lanjut, “Coba bagaimana
kita mengetahui bahwa Allah lah yang mengatur darah yang berada di dalam tubuh
kita?”.
Pada
saat itu belum ada anak yang mampu menjawab pertanyaan guru. Kemudian guru
memberikan pertanyaan pancingan lagi supaya anak-anak dapat merefleksi mengenai
materi tentang “darah” ini menjadi bagian dari penguatan karakter bagi anak.
“Nah anak-anak, siapa sebenarnya yang menciptakan manusia dan alam semesta?”
Anak-anak menjawab dengan spontan “Allah…” lalu guru kemudian bertanya
lagi,”jika Allah yang menciptakan semua makhluknya, apakah Allah juga yang
mengatur darah di dalam diri manusia?” kemudian mereka menjawab secara spontan
“ya…”.
Pada
saat itu guru memahami bahwa suatu hal yang sulit untuk membuktikan bagaimana
keterlibatan Allah SWT dalam pengaturan darah manusia. Kemudian dia menjelaskan
tentang proses penciptaan manusia mulai dari pertemuan sperma dengan ovum.
Dalam penjelasannya guru mengutip Qur’an Surat Al Alaq ayat 2 yang artinya ”Dia
yang menciptakan manusia dari segumpal darah”. Berdasarkan refleksi tersebut,
kemudian guru meminta anak-anak di kelas untuk mencari pengetahuan atau
wawancara kepada keluarga terdekat tentang “kaitan antara darah dengan
kesehatan dan kondisi darah dengan psikologi seseorang”.
Muspiroh
(2013: 495) mengungkapkan, pada materi tata surya, guru dapat menyisipkan nilai
keimanan. Tata surya terdiri dari planet-planet, bintang, satelit, asteroid,
dan meteorit. Matahari adalah pusat dari tata surya. Semuanya berjalan sesuai
garis edarnya. Berotasi dan berevolusi sesuai dengan lintasan dan waktu yang
berbeda-beda. Kesemuanya itu telah diatur oleh Allah SWT. Apabila tidak ada
yang mengatur maka planet-planet itu akan bertabrakan satu sama lain. Hal ini
sesuai dengan Qur’an Surat ArRa’d ayat 2 yang artinya ”Allah-lah yang
meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian dia
bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing
beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan Vol. 11, No. 2,
Agustus 2016 455 Spiritual Teaching dalam Pembelajaran PAI di Madrasah
(makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini
pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”.
Winarti
(2015: 58) mengembangkan modul pembelajaran diintegrasikan dengan nilai
spiritual. Selain materi yang terintegrasi dengan Islam (ayat-ayat Al Qur’an),
modul juga dilengkapi dengan refleksi. Refleksi ini bertujuan untuk memberi
renungan kepada peserta didik tentang kebesaran Allah untuk menanamkan
nilai-nilai keislaman. Contoh refleksi sebagai berikut: 1) Saat kita berjalan
di bawah terik matahari, ingatlah bahwa panas matahari merupakan salah satu
nikmat yang diberikan Allah yang dapat kita manfaatkan; 2) Pernahkah kalian
membayangkan derajat panasnya neraka? Bagaimana jika kalian ada di sana?; 3)
Tuhan menciptakan hukum alam agar kita berpikir dan menyadari akan
kebesaran-Nya bahwa setiap peristiwa pasti ada penyebab dan penjelasannya serta
semua ciptaan Tuhan dapat dijelaskan secara ilmiah dan masuk akal.
Pembelajaran
reflektif dapat dievaluasi. Evaluasi pembelajaran reflektif adalah evaluasi
yang ditujukan untuk melihat sejauh mana berbagai karakter dan nilai yang
dikembangkan dapat dimiliki oleh anak. Evaluasi ini dilakukan melalui observasi
terhadap perilaku anak. Observasi dilakukan melalui lisan, perbuatan, raut
muka, gerak badan, dan berbagai hal lainnya. Evaluasi yang tepat dilakukan
adalah observasi terhadap pemikiran dan sikap anak.
2. Achievement Motivation
Training (AMT)
Sebelum
kita memahami Achievement Motivation Training (AMT) terlebih dahulu kita
ketahui pengertian dari:
· Motivasi
Pengertian
motivasi menurut H. Hadari Nawawi motivasi adalah:“Suatu keadaan yang mendorong
atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang
berlangsung secara sadar”.
Dalam lembaga pendidikan,
motivasi kerja para guru dapat di artikan sebagai kondisi yang berpengaruh
membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan
lingkungan kerja di lingkungan pendidikan. Untuk meningkatkan motivasi kerja
para guru diperlukan pengondisian dari lembaga (pimpinan) dalam bentuk
pengerahan dan pemeliharaan kondisi kerja yang dapat menstimulasi kualitas
kinerja.
· Achievement
Menurut
Sardiman A.M “Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi
antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar
individu dalam belajar”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia “Prestasi adalah
hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya)”. Dari pendapat
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi merupakan suatu hasil yang
telah dicapai sebagai bukti usaha yang telah dilakukan.
· Training
Training
atau pelatihan adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja kita
dalam melakukan pekerjaan, baik pekerjaan secara fisik maupun pekerjaan yang
berhubungan dengan orang lain, terutama dalam perkembangan dari masing-masing
individu. Dengan training pengembangan diri (self development), diharapkan kita
dapat bertambah wawasan, berubah sikap, dan berkembang kepribadian.
Dari
beberapa pengertian di atas maka dapat di simpulkan bahwa Achievement
Motivation Training (AMT) adalah pelatihan yang dikemas untuk memotivasi
peserta agar menjadi orang yang “berprestasi.” Motif berprestasi yang tinggi
diketahui ada pada sebagian besar penduduk negara-negara maju dan mandiri.
Sementara di negara-negara yang sedang berkembang, motif ini masih rendah.
3. Spiritual Educational Games
(SEG)
Suyadi
(2015: 16) menggagas tentang Spiritual Educational Games (SEG) untuk menyiapkan
generasi bangsa yang religius sejak dini. SEG adalah konsep permainan edukatif
untuk pengembangan kecerdasan spiritual anak yang dikembangkan dari tiga
komponen, yakni kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dari Howard Gardner,
Play and Learn dari Montessori, dan SQ for Kids dari Jalaludin Rakhmat.
Kecerdasan majemuk (multiple intelligence) adalah kecerdasan ganda, yang
terdiri dari Sembilan kecerdasan, yakni kecerdasan lingusitik, kinestetik,
logika matematis, visual, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalistik,
dan eksistensial.
Play
and Learn adalah gagasan Montessori tentang bermain dan belajar. Menurutnya,
tidak semua permainan mengandung unsur edukasi atau pendidikan. Oleh karena
itu, diperlukan kategori permainan yang sarat terhadap nilainilai edukatif. SQ
for Kids adalah gagasan Jalaludin Rakhmat untuk mengembangkan kecerdasan
spiritual anak. Gagasan ini semacam kiat-kiat tertentu. Ketiga teori tersebut disinergikan
dan dikombinasikan untuk membuat sebuah model baru berupa permainan edukatif
spiritual.
Suyadi
mengelompokkan spiritual educational games (SEG) menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
SEG berbasis alat atau benda (boneka spiritual, menara ajaib, puzzle transcendental).
2.
SEG berbasis aktivitas (panji-panji spiritual, drama, peran dan pantomim).
3.
SEG berbasis multimedia interaktif (teknologi digital), misalnya puzzle
interaktif, pesawat imajinatif, sutradara maya. Laely Mahmudah 458 Edukasia:
Jurnal Penelitian Pendidikan Islam.
Penerapan
Spiritual Educational Games dalam pembelajaran IPA tentu saja disesuaikan
dengan tingkat perkembangan peserta didik dan disesuaikan dengan materi
pembelajaran. Walaupun Suyadi mengatakan bahwa SEG lebih tepat digunakan pada
lembaga PAUD maupun Raudlatul Athfal/TK, namun permainan ini tidak menutup
kemungkinan untuk diterapkan pada peserta didik di madrasah.
Game
sebagai suatu hal yang dianggap menyenangkan dapat digunakan untuk memuat
konten-konten edukasi yang dapat membantu dalam menyampaikan nilai-nilai
positif dalam membangun kecerdasan manusia secara utuh. Karena game dapat
melatih kemampuan otak secara aktif, merangsang otak dalam membuat keputusan,
lebih mempunyai tantangan. Macam-macam game antara lain: aksi, aksi petualangan,
simulasi, konstruksi dan manajemen, role playing games, strategi, balapan, olah
raga, puzzle, dan permainan kata. Game edukasi dapat meningkatkan pemahaman
peserta didik dalam belajar PAI (Intan Sari, et al., 2013).
Kesimpulan
Spiritual
teaching merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Spiritual hal yang harus menjadi landasan bagi setiap muslim agar arah hidupnya
jelas dan tidak terombang-ambing dengan berbagai permasalahan hidup. Spiritual
teaching merupakan hal yang bisa menjawab pertanyaan yang sering timbul seperti
apa tujuan kita hidup? Mengapa kita ada didunia ini? Kemana kita akan pergi
setelah kematian?
Spiritual
teaching adalah dapat dimaknai sebagai metode pembelajaran yang sangat ampuh
untuk membangkitkan semangat hidup, spiritual berarti batin, kejiwaan, rohani.
Spiritual berasal dari kata spirit yang berkenaan dengan semangat, dari sini
kita dapat mengartikan “spiritual” sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
kemampuan kita dalam membangkitkan “semangat”, bagaimana kita benar-benar
memperhatikan “jiwa” atau “sukma” kita dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi.
Daftar pustaka
ü Goleman, Daniel.1999. Working With Emotional
Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
ü Ginanjar, Ary Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun
Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Sipritual. Jakarta : Arga
ü Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan.
Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
ü Ginanjar, Ari, ESQ, Jakarta: Kaifa, 2000
ü Asep Dadang. Mencerdaskan Potensi IQ, EQ dan SQ.
(Bandung: PT. Globalindo Universal Multi Kreasi.2007).
Komentar
Posting Komentar