METODOLOGI PEMBELAJARAN P
ENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“SPIRITUAL TEACHING”






BAB I

Kata Pengantar


Segala Puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT karena limpahan rohmat serta anugerah darinya sehingga kami mampu untuk merampungkan makalah dengan judul “Adab Kepada Guru dan Ustads” ini. Sholawat dan salam selalu kita ucapkan dan curahkan untuk junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW yang sudah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, sebuah petunjuk paling benar yakni syariah agama islam yang sempurna dan satu satunya karunia paling besar kepada seluruh alam semesta.

Penulis benar benar berterima kasih sebab mampu menyelesaikan makalah yang termasuk dari tugas pendidikan agama tentang “Adab-adab Kepada Guru dan Ustadz”. Selain itu, kami menyampaikan terima kasih yang banyak terhadap seluruh pihak yang sudah membantu kami selama berlangsungnya penyelesaian makalah ini sampai bisa terselesaikan makalah ini.

Begitulah yang bisa kami haturkan, kami berharap supaya makalah ini bisa berguna kepada setiap pembaca. Kami memohon kritik dan saran untuk makalah ini supaya selanjutnya bisa kami revisi kembali. Karena kami menyadari dengan sangat, bahwa makalah yang kami tulis ini masih banyak kekurangannya.


A.   Latar Belakang

Manusia adalah mahluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk tuhan yang lainnya. Mengapa demikian?,tentu jawabannya karena manusia telah diberkahi dengan akal dan fikiran yang bisa membuat manusia tampil sebagai khalifah dimuka bumi ini. Akal dan fikiran ini lah yang membuat manusia bisa berubah dari waktu ke waktu.Dalam kehidupan manusia sulit sekali dipredeksi sifat dan kelakuannya bisa berubah sewaktu-waktu. Kadang dia baik,dan tidak bisa bisa dipungkiri juga banyak manusia yang jahat dan dengki pada sesame manusia dan makhluk tuhan lainnya.

Setiap manusia kepercayaan akan sesuatu yang dia anggap angung atau maha.kepercyaan inilah yang disebut sebagai spriritual. Spiritual ini sebagai kontrol manusia dalam bertindak, jadi spiritual juga bisa disebut sebagai norma yang mengatur manusia dalam berperilaku dan bertindak.

Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam rangka membantu terwujudnya suatu tujuan pendidikan dengan baik. Setiap pendidik tentu mempunyai metode atau cara yang digunakan untuk membentuk karakter peserta didik sesuai dengan harapan. Dalam metode mendidik anak, sangat bervariasi cara yang bisa kita gunakan salah satunya yakni spritual teachingSpiritual teaching sangat ampuh untuk membakar semangat peserta didik dalam menuntut ilmu, oleh karena itu makalah ini kami susun untuk mengetahui bagaimana cara mendidik anak dalam metode spiritual teaching




B.    Rumusan Masalah


a.       Pengertian spiritual teaching

b.      Strategi spiritual teaching dalam pembelajaran PAI

c.       Spiritual teaching sebagai konsep yang melibatkan IQ, EQ, SQ

d.      Penerapan spiritual teaching dalam pembelajaran PAI




BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Spiritual Teaching
spiritual adalah dapat dimaknai sebagai batin, kejiwaan, rohani. Spiritual berasal dari kata spirit yang berkenaan dengan semangat, dari sini kita dapat mengartikan “spiritual” sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan kita dalam membangkitkan “semangat”, bagaimana kita benar-benar memperhatikan “jiwa” atau “sukma” kita dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi.

Al-Ghazali mengartikan kata spiritual dengan menggunakan empat istilah, yakni al-qalb, al-ruh, al-nafs, al-aql. Keempat istilah tersebut ditinjau dari segi fisik memiliki perbedaan arti, dalam pengertian pertama al-qalb berarti qalb al-jasmani (kalbu jasmani), al-ruh berarti ruh jasmani dan lathif,  al-nafs berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-aql berarti ilmu. Sedangkan dalam pengertian kedua, keempat istilah itu mengandung arti yang sama, yakni jiwa atau spiritualitas manusia yang mempunyai hakikat, diri, dan zat manusia.

Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan rajanya adalah jiwa, wilayahnya adalah tubuh, alat indera dan fakultas badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir (perdana mentri), serta hawa nafsu dan sifat marah sebagai polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia ke jalan yang baik dan diridhai Allah. Sebaliknya hawa nafsu dan sifat marah selalu pula mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Demi terciptanya ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia) maka, kekuasaan raja dan wazir harus berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa. Dari ibarat di atas semakin jelaslah bahwa jiwa merupakan hakikat, diri dan zat manusia karena fungsinya besar dalam kehidupan dan di atas-Nya lah tergantung baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat.

Adapun “Teaching” disini berarti mengajar. Mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Untuk proses mengajar sebagai proses menyampaikan pengetahuan akan lebih tepat diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan atau keterampilan seperti yang dikemukakan oleh Smith bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan  (teaching is imparting knowledge)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman ilmu pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan sesuatu  mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT sebagai pemilik ilmu.

Cinta guru terhadap profesinya bisa berwujud profesionalisme, totalitas, ketulusan, kesabaran, dan kerelaan dalam menghadapi resiko-resiko yang harus ditanggung.Adapun cinta guru terhadap siswa diberikan melalui kedekatan, keakraban, penerimaan yang tulus, atau cairnya hubungan yang terbangun bersama mereka. Curahan cinta, kasih dan sayang guru kepada siswa akan menghasilkan sesuatu yang spektakuler, yaitu respons balik dari siswa berupa cinta, kepatuhan dan prestasi.


B.     Strategi Spiritual Teaching Dalam Pembelajaran PAI

       Guru mempunyai peran penting dalam strategi untuk memastikan proses pembelajaran siswa sesuai dengan pola pikirnya sering gagal, karena penyajian materi pada umumnya berbentuk klasik, sehingga sulit menerapkan strategi yang beragam dikelas. Sementara kemampuan siswa satu dengan lainnya itu berbeda. Ada salah satu strategi yang sederhana sehingga guru dapat menciptakan suasana yang menyenangkan, asyik, dan beragam, sehingga dapat membangkitkan motivasi bagi siswa dalam pembelajaran dan mampu meningkatkan kemampuan berfikir mereka.

       Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan Abdullah Munir, ada beberapa langkah yang harus diterapkan dalam strategi ini, yaitu

1.      Teladan baik atau mulia.

Keteladan dalam proses pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Diantara keteladan yang baik dalam proses pembelajaran dilakukan sebelum memulai pelajaran belangsung, siswa wajib membaca do’a dengan khidmad yang dipandu oleh guru.

Pendidikan dengan memberikan keteladan secara baik dari pengajar sangat membekas dan dapat dirasakan oleh siswa, memberi petunjuk dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang baik.

2.      Murid adalah obyek  dan sasaran utama dari proses aktivitas kegiatan belajar mengajar dan pendidikan.

Oleh karena itu, murid unsur utama yang dengannya itu guru berinteraksi, Kurikulum, sistem pengjaran dan lain-lainnya pada dasarnya dibuat untuk merealisasikan tujuan pengajaran dan pendidikan bagi murid. Berpijak pada posisi murid dalam proses belajar mengajar, maka perlu diletakan garis-garis besar, kaedah-kaedah interaksi dengan murid agar tujuan pengajaran dan pendidikan bisa terwujud. Semua tumpuan itu adalah akhlak yang mulia.

3.      Melembutkan hati

Hati mempunyai peran sangat penting dalam mewarnai aktivitas hidup. Suasana hati yang sedih seringkali menghalangi terjadinya bentuk kreativitas, menyedot banyak energi dan antusias orang.

Apabila guru dapat mengeksplorasi diri sehingga daya tangkap pancaindera siswa meliputi penglihatan, pendengaran, dan rasa dapat dikoordinasikan dengan baik, akan mnyelaraskan suasana belajar dengan suasana hati. Dengan suasana hati yang penuh sukacita mampu menjadikan pikiran dan kreativitas mengalir deras, merangsang kuat pada perasaaan ide serta wawasan.

4.      Menyemaikan benih kasih sayang

Mendidik dengan hati, cinta dan kasih sayang merupakan hal yang diperintah Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda :

“Sayangilah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang mulia”

(H.R Ibnu Majah)

Bila anak didik dengan penuh kasih sayang dan budi pekerti yang mulia pasti anak tersebut akan tumbuh nilai-nilai positif dalam diri dan jiwanya, seperti menghormati orang lain, rasa percaya diri, toleransi, jujur, dan lainnya.

5.      Beristiqamah diri

Ada beberapa hal bahan motivasi agar guru dapat senantiasa menikmati pekerjaan sehingga dapat beristiqamah dalam menjalankan tugas dengan baik diantaranya adalah a) Ingat janji Allah SWT, b) Mengelola resiko, c) Milikilah sikap totalitas, d) Membandingkan diri dengan orang lain, e) Figur nyata untuk cerminan, f) Membekali diri dengan keterampilan, g) Luruskan niat, antisipasi masalah.

6.      Indikator cinta

Ada tiga hal yang menjadi indikator cinta seorang guru terhadap profesi dan anak didiknya. Pertama, pasokan energi yang melimpah. Dalam indikator ini seorang guru harus bersemangat dalam mengajar, dapat mengelola waktu dengan baik dan diusahakan selalu hadir. Kedua, kesediaan untuk berkorban. Indikator ini meliputi menciptakan pembelajaran efektif, menguasai materi dan menerangkan meteri dengan jelas sehingga dapat dipahami oleh murid, menggunakan sumber belajar yang tepat, mengadakan evaluasi. Ketiga, kesiapan untuk selalu memberi yang terbaik. Indikator ini meliputi memberi tauladan kepada siswa dan dapat mengarahkannya serta memberi penguatan didalamnya.  


C.    Spiritual Teaching Sebagai Konsep Yang Melibatkan IQ, EQ, SQ

              Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Akal merupakan kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan akal manusia mampu belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang dimiliki, seorang manusia mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yaitu memaksimalkan proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia dibekali kecerdasan yang luar biasa dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain.

Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata – mata untuk mencari nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu harus didasari niat beribadah kepada Tuhan. Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak didiknya.

Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik, panutan bagi orang – orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.

Guru juga seorang manusia di mana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan teladan yang baik bagi murid-muridnya karena setiap sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik (guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.


Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses belajar mengajar tertentunya mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan tugasnya. Strategi spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa semangat dan senang dalam belajar. Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa tolak ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar.

Seorang guru yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak bertindak tidak patut dan semestinya. Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk mulai menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan nilai – nilai kebaikan, nilai – nilai religius.

Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar/ learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).

Sebagai pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang menantang atau problematis (Problematical Learning/IQ), menyenangkan (Joyful Learning/ EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/ SQ).

Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.

Dalam dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) perlu mendapat perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan.

Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, dijelaskan bahwa kunci sukses seseorang ternyata tidak hanya disebabkan tingginya IQ (Intelligence Quotient) saja, ada faktor lain yang dapat membawa seseorang menuju jalan kesuksesan, yaitu EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional. Tetapi IQ dan EQ yang tinggi ternyata belum cukup, dibutuhkan lagi apa yang dinamakan SQ (Spiritual Quotient). Penggabungan antara kerelegiusan dan psikologi yang sudah mendekati kesempurnaan,bahwa manusia tidak mungkin bisa terlepas dari yang namanya takdir dan ikhtiar untuk keberlangsungan hidupnya. Dan berikut akan disebutkan beberapa jenis manusia berdasarkan tingkat IQ, EQ dan SQ yang dimilikinya.

1. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang yang rasionalis, artinya mengedapankan akal dan pikiran dalam menentukan sesuatu (padahal akal manusia sangat terbatas jangkauannya).

2. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang materialis, artinya memandang sesuatu mengharapkan material.

3. Jenis manusia yang mempunyai IQ tidak bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang moralis, artinya terus sendiri dalam beribadah, tanpa memikirkan bagaimana orang lain di sekelilingnya.

4. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang egois, artinya orang yang mementingkan diri sendiri.

5. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ bagus, inilah manusia yang ulul albab dan seorang yang fitrah.

Maka Seorang pendidik harus mampu menjadi manusia yang kelima, yaitu memiliki IQ, EQ dan SQ yang bagus. Sebagai konsep siritual teaching.


a. Intelligence Quotient (IQ)

IQ (Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari hasil pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan dan selalu dikaitkan dengan hal akademik seseorang. Banyak orang berpandangan bahwa IQ merupakan pokok dari sebuah kecerdasan seseorang sehingga IQ dianggap menjadi tolak ukur keberhasilan dan prestasi hidup seseorang. Padahal IQ hanyalah satu “kemampuan dasar”. Kemampuan ini umumnya terbatas pada keterampilan standar dalam melakukan suatu kegiatan dan tingkatnya relatif tetap. IQ (Intellegence Quotient) / kecerdasan otak masih berorientasi pada kebendaan.

Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.


b. Emotional Quotient (EQ)

EQ (Emotional Quotient) / kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola emosi atau perasaan. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ masih berorientasi pada kebendaan. Tingkat EQ dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Kecerdasan Emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.

Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.

Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.

Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.


c. Spiritual Quotient (SQ)

Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab.


SQ (Spiritual Qoutient) / kecerdasan spiritual dapat dikatakan sebagai penggabungan antara IQ dan EQ. SQ merupakan kemampuan untuk mengenal siapa dirinya secara lahir dan bathin dan mengenal bahwa ada kekuasaan yang melebihi dari apa pun di dunia ini yaitu Sang Pencipta. Manusia secara fitrah memang memiliki potensi untuk menghambakan Dzat di mana dalam hubungan vertikal yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Manusia yang memiliki sifat yang lemah, terbatas dan tergantung memiliki kecenderungan untuk meminta perlindungan dan pertolongan kepada yang lebih darinya. Manusia yang mampu mengelola kecerdasan ini dengan baik, maka hidupnya akan merasakan ketenangan yang luar biasa nikmatnya. Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.

Denah Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).

Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’

Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.

Dalam Islam, orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan pandangan hawa nafsunya. Hal ini merupakan Sabda Rasulullah saw, seorang pendidik yang luar biasa cerdasnya yang diriwayatkan oleh Tarmidzi.


IQ, EQ dan SQ masing-masing memiliki peran yang penting dalam setiap kehidupan manusia. Ketiganya harus berjalan secara seimbang agar didapatkan keberhasilan yang sesungguhnya. Begitu pula bagi seorang pendidik (guru). Dia harus mampu menguasai ketiga kecerdasan ini.

Tugas dan peranan guru sebagai pengajar yang professional , berorientasi pada kegiatan layanan pengajaran kepada masyarakat dan upaya konsisten dalam sistem pendidikan nasional. Seorang pendidik (calon pendidik) diharapkan memiliki tiga kecerdasan ini (IQ, EQ dan SQ) yang baik sehingga mampu melahirkan generasi-generasi yang juga memiliki IQ,EQ serta SQ yang luar biasa. Tidak hanya memiliki kecerdasan otak yang tinggi tetapi juga memiliki sikap, moral dan tingkah laku yang luhur serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (menguasai iptek dan imtak).


d.    Penerapan spiritual teaching dalam pembelajaran PAI

Sikap religius menjadi komponen penting dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Di mana agama akan membawa arah hidup menjadi lebih baik. Agama akan mewarnai karakter shalih seseorang. Agama akan menuntun hati menjadi ikhlas berbuat baik (kasmadi, 2013: 109). Spiritual teaching dapat diterapkan dalam pembelajaran PAI di madrasah diantaranya melalui beberapa cara sebagai berikut:

1.       Pembelajaran Reflektif Spiritual teaching berkaitan erat dengan pendidikan karakter.

Salah satu cara menerapkan spiritual teaching dapat melalui pembelajaran reflektif. Pembelajaran reflektif adalah pendidikan karakter yang terintegrasi/melekat pada semua mata pelajaran/bidang studi di semua jenjang dan jenis pendidikan. Proses pembelajaran dilakukan oleh semua guru mata pelajaran seperti guru PAI, Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan mata pelajaran lainnya. Proses pembelajaran reflektif dilakukan melalui pengaitan materi-materi yang dibahas dalam pembelajaran dengan makna di belakang materi tersebut. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran guru menjawab pertanyaan mengapa suatu materi itu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan (Kesuma, et al., 2012: 115).

Contoh pembelajaran refleksi spiritual yang dapat dilakukan oleh guru PAI pada materi tentang darah sebagai berikut:

 Setelah peserta didik mengelaborasi materi tentang darah (komponen, fungsi, dan karakteristik lainnya) kemudian diakhir sesi pembelajaran guru bertanya kepada anak, ”Anak anak menurut kamu siapakah sebenarnya yang mengatur darah di dalam diri manusia dan makhluk hidup lainnya yang memiliki darah? Kebanyakan anak dengan spontan menjawab “Allah…” Namun demikian beberapa anak lain tidak menjawab. Kondisi ini dipahami oleh guru sebagai suatu kondisi yang memerlukan penguatan karakter anak, yaitu karakter tentang berserah diri Laely Mahmudah 454 Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam terhadap Allah SWT. Kemudian guru meminta pada anak-anak untuk menjelaskan lebih lanjut, “Coba bagaimana kita mengetahui bahwa Allah lah yang mengatur darah yang berada di dalam tubuh kita?”.

 Pada saat itu belum ada anak yang mampu menjawab pertanyaan guru. Kemudian guru memberikan pertanyaan pancingan lagi supaya anak-anak dapat merefleksi mengenai materi tentang “darah” ini menjadi bagian dari penguatan karakter bagi anak. “Nah anak-anak, siapa sebenarnya yang menciptakan manusia dan alam semesta?” Anak-anak menjawab dengan spontan “Allah…” lalu guru kemudian bertanya lagi,”jika Allah yang menciptakan semua makhluknya, apakah Allah juga yang mengatur darah di dalam diri manusia?” kemudian mereka menjawab secara spontan “ya…”.

Pada saat itu guru memahami bahwa suatu hal yang sulit untuk membuktikan bagaimana keterlibatan Allah SWT dalam pengaturan darah manusia. Kemudian dia menjelaskan tentang proses penciptaan manusia mulai dari pertemuan sperma dengan ovum. Dalam penjelasannya guru mengutip Qur’an Surat Al Alaq ayat 2 yang artinya ”Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah”. Berdasarkan refleksi tersebut, kemudian guru meminta anak-anak di kelas untuk mencari pengetahuan atau wawancara kepada keluarga terdekat tentang “kaitan antara darah dengan kesehatan dan kondisi darah dengan psikologi seseorang”.

Muspiroh (2013: 495) mengungkapkan, pada materi tata surya, guru dapat menyisipkan nilai keimanan. Tata surya terdiri dari planet-planet, bintang, satelit, asteroid, dan meteorit. Matahari adalah pusat dari tata surya. Semuanya berjalan sesuai garis edarnya. Berotasi dan berevolusi sesuai dengan lintasan dan waktu yang berbeda-beda. Kesemuanya itu telah diatur oleh Allah SWT. Apabila tidak ada yang mengatur maka planet-planet itu akan bertabrakan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan Qur’an Surat ArRa’d ayat 2 yang artinya ”Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan Vol. 11, No. 2, Agustus 2016 455 Spiritual Teaching dalam Pembelajaran PAI di Madrasah (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”.

Winarti (2015: 58) mengembangkan modul pembelajaran diintegrasikan dengan nilai spiritual. Selain materi yang terintegrasi dengan Islam (ayat-ayat Al Qur’an), modul juga dilengkapi dengan refleksi. Refleksi ini bertujuan untuk memberi renungan kepada peserta didik tentang kebesaran Allah untuk menanamkan nilai-nilai keislaman. Contoh refleksi sebagai berikut: 1) Saat kita berjalan di bawah terik matahari, ingatlah bahwa panas matahari merupakan salah satu nikmat yang diberikan Allah yang dapat kita manfaatkan; 2) Pernahkah kalian membayangkan derajat panasnya neraka? Bagaimana jika kalian ada di sana?; 3) Tuhan menciptakan hukum alam agar kita berpikir dan menyadari akan kebesaran-Nya bahwa setiap peristiwa pasti ada penyebab dan penjelasannya serta semua ciptaan Tuhan dapat dijelaskan secara ilmiah dan masuk akal.

 Pembelajaran reflektif dapat dievaluasi. Evaluasi pembelajaran reflektif adalah evaluasi yang ditujukan untuk melihat sejauh mana berbagai karakter dan nilai yang dikembangkan dapat dimiliki oleh anak. Evaluasi ini dilakukan melalui observasi terhadap perilaku anak. Observasi dilakukan melalui lisan, perbuatan, raut muka, gerak badan, dan berbagai hal lainnya. Evaluasi yang tepat dilakukan adalah observasi terhadap pemikiran dan sikap anak.

2.      Achievement Motivation Training (AMT)

Sebelum kita memahami Achievement Motivation Training (AMT) terlebih dahulu kita ketahui pengertian dari:

·          Motivasi

Pengertian motivasi menurut H. Hadari Nawawi motivasi adalah:“Suatu keadaan yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang berlangsung secara sadar”.

Dalam lembaga pendidikan, motivasi kerja para guru dapat di artikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja di lingkungan pendidikan. Untuk meningkatkan motivasi kerja para guru diperlukan pengondisian dari lembaga (pimpinan) dalam bentuk pengerahan dan pemeliharaan kondisi kerja yang dapat menstimulasi kualitas kinerja.
·         Achievement

Menurut Sardiman A.M “Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia “Prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya)”. Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi merupakan suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti usaha yang telah dilakukan.

·         Training

Training atau pelatihan adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja kita dalam melakukan pekerjaan, baik pekerjaan secara fisik maupun pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain, terutama dalam perkembangan dari masing-masing individu. Dengan training pengembangan diri (self development), diharapkan kita dapat bertambah wawasan, berubah sikap, dan berkembang kepribadian.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat di simpulkan bahwa Achievement Motivation Training (AMT) adalah pelatihan yang dikemas untuk memotivasi peserta agar menjadi orang yang “berprestasi.” Motif berprestasi yang tinggi diketahui ada pada sebagian besar penduduk negara-negara maju dan mandiri. Sementara di negara-negara yang sedang berkembang, motif ini masih rendah.


3.       Spiritual Educational Games (SEG)

Suyadi (2015: 16) menggagas tentang Spiritual Educational Games (SEG) untuk menyiapkan generasi bangsa yang religius sejak dini. SEG adalah konsep permainan edukatif untuk pengembangan kecerdasan spiritual anak yang dikembangkan dari tiga komponen, yakni kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dari Howard Gardner, Play and Learn dari Montessori, dan SQ for Kids dari Jalaludin Rakhmat. Kecerdasan majemuk (multiple intelligence) adalah kecerdasan ganda, yang terdiri dari Sembilan kecerdasan, yakni kecerdasan lingusitik, kinestetik, logika matematis, visual, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan eksistensial.

Play and Learn adalah gagasan Montessori tentang bermain dan belajar. Menurutnya, tidak semua permainan mengandung unsur edukasi atau pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan kategori permainan yang sarat terhadap nilainilai edukatif. SQ for Kids adalah gagasan Jalaludin Rakhmat untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Gagasan ini semacam kiat-kiat tertentu. Ketiga teori tersebut disinergikan dan dikombinasikan untuk membuat sebuah model baru berupa permainan edukatif spiritual.

Suyadi mengelompokkan spiritual educational games (SEG) menjadi tiga jenis, yaitu:

1. SEG berbasis alat atau benda (boneka spiritual, menara ajaib, puzzle transcendental).

2. SEG berbasis aktivitas (panji-panji spiritual, drama, peran dan pantomim).

3. SEG berbasis multimedia interaktif (teknologi digital), misalnya puzzle interaktif, pesawat imajinatif, sutradara maya. Laely Mahmudah 458 Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam.

 Penerapan Spiritual Educational Games dalam pembelajaran IPA tentu saja disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik dan disesuaikan dengan materi pembelajaran. Walaupun Suyadi mengatakan bahwa SEG lebih tepat digunakan pada lembaga PAUD maupun Raudlatul Athfal/TK, namun permainan ini tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan pada peserta didik di madrasah.

 Game sebagai suatu hal yang dianggap menyenangkan dapat digunakan untuk memuat konten-konten edukasi yang dapat membantu dalam menyampaikan nilai-nilai positif dalam membangun kecerdasan manusia secara utuh. Karena game dapat melatih kemampuan otak secara aktif, merangsang otak dalam membuat keputusan, lebih mempunyai tantangan. Macam-macam game antara lain: aksi, aksi petualangan, simulasi, konstruksi dan manajemen, role playing games, strategi, balapan, olah raga, puzzle, dan permainan kata. Game edukasi dapat meningkatkan pemahaman peserta didik dalam belajar PAI (Intan Sari, et al., 2013).


Kesimpulan


Spiritual teaching merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Spiritual hal yang harus menjadi landasan bagi setiap muslim agar arah hidupnya jelas dan tidak terombang-ambing dengan berbagai permasalahan hidup. Spiritual teaching merupakan hal yang bisa menjawab pertanyaan yang sering timbul seperti apa tujuan kita hidup? Mengapa kita ada didunia ini? Kemana kita akan pergi setelah kematian?

Spiritual teaching adalah dapat dimaknai sebagai metode pembelajaran yang sangat ampuh untuk membangkitkan semangat hidup, spiritual berarti batin, kejiwaan, rohani. Spiritual berasal dari kata spirit yang berkenaan dengan semangat, dari sini kita dapat mengartikan “spiritual” sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan kita dalam membangkitkan “semangat”, bagaimana kita benar-benar memperhatikan “jiwa” atau “sukma” kita dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi.


Daftar pustaka

ü  Goleman, Daniel.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.

ü  Ginanjar, Ary Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga

ü  Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

ü  Ginanjar, Ari, ESQ, Jakarta: Kaifa, 2000

ü  Asep Dadang. Mencerdaskan Potensi IQ, EQ dan SQ. (Bandung: PT. Globalindo Universal Multi Kreasi.2007). 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (perubahan UUSPN no 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003)

Solusi Terbaik Problem Honorer Guru